Minggu, 17 Mei 2020

Cerita Kota Deli Di Tanah Eropa Mengguncang Benua Eropa
Indonesia tidak hanya kaya akan keindahan alamnya. Perjalanan sejarah yang panjang serta kekayaan budaya dan etnis juga mewarisi sejumlah peninggalan yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini.

Berbicara mengenai warisan kejayaan masa lalu, Kota Medan memiliki salah satu istana terindah yang ada di Indonesia, yakni Istana Maimun. Istana ini berlokasi di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kota Medan.



Pada 26 Agustus 1888, Istana Maimun mulai dibangun oleh seorang arsitek berkebangsaan Belanda dan diresmikan pada 18 Mei 1891. Istana Maimun pada awalnya difungsikan sebagai pusat pemerintahan dan pusat dakwah Islam.

Di kawasan kompleks Istana Maimun, terdapat Meriam Putung yang konon memiliki nilai magis. Mitosnya, meriam tersebut merupakan jelmaan seorang putri dari Kesultanan Deli Tua. Penjelmaan sang putri tersebut terjadi saat peperangan antara Kerajaan Aceh dan Melayu.

Menurut Avan selain karena potensi Labuhan yang menurun, Sultan memandang kedudukan residen Sumatra Timur di Medan sebagai kesempatan memperkuat kedudukan politiknya. Pada 1891, Sultan Makmun Perkasa Alam memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli ke Medan. Sultan Deli menempati singgasananya di Istana Maimun yang megah. Sisi belakangnya menghadap Sungai Deli dan sisi depan menghadap ke jalan raya.

Perlahan, Medan menampilkan citra kota modern. Jaringan kereta api “Deli Spoor” untuk mendukung bisnis perkebunan dibangun berikut jaringan teleponnya. Alun-alun raya Esplanade – sekarang menjadi Lapangan Merdeka – menjadi pusat kota. Rumahsakit dan hotel-hotel bermunculan. Gedung-gedung bergaya Eropa semakin banyak ditemui. Sarana hiburan seperti pacuan kuda, klub sepakbola, ataupun perkumpulan olahraga semakin memperkuat kesan Medan sebagai kota urban. Aktivitas di kota ini sibuk dengan berbagai macam bisnis, urusan pemerintahan, dan kehidupan sosial yang plural.

Pada 1 April 1909, Kota Medan memperoleh statusnya sebagai gementee (kota) baru. Pengukuhan itu diresmikan langsung oleh Gubernur Hindia Belanda J.B. van Heutz di Bogor. Orang-orang Belanda dengan jemawa menyandingkan Medan sebagai Parisnya Sumatra.

“Orang Belanda Deli ini sangat bangga pada karakter modern dan internasional Sumatra Timur dan keelokan ibukotanya, Medan,” demikian catat sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution & The End of Traditional Rule in Northern Sumatra.

Di Medan, kenyaman hidup orang Belanda hampir tidak dapat disamai kota lain di negeri Hindia. Gelimang kemewahan itu beririsan pula dengan keangkuhan. Sebagai akibatnya, posisi mereka menjadi sangat kuat dan cenderung lebih berkuasa ketimbang pemerintah kolonial.

“Presiden Direktur Deli-Company bagi mereka lebih pantas dihormati ketimbang Gubernu Jenderal Hindia Belanda,” kata jurnalis Deli Courant Willem Brandt dalam De Aarde van Deli sebagaimana dikutip Reid.

Demikianlah orang Belanda Deli penguasa Kota Medan memandang tinggi diri mereka. Sebaliknya, kalangan bumiputra memandang diri mereka penuh ironi. Mereka kebanyakan bekerja sebagai orang-orang upahan yang terikat:alias kuli kontrak. Derita yang dialami para kuli kontrak tercatat sepanjang sejarah.